Kepada Perempuanku -- Imron Supriyadi Dikemas 21/12/2003 oleh Editor Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur. Pagi menjelang fajar, aku sudah berkemas. Jaket, parang, pisau pinggang, minyak, lampu, korek dan sedikit singkong rebus sudah masuk ke dalam ransel. Kuputuskan, pagi itu, aku harus pergi ke hutan. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam perkampungan yang pengap. Suhu udara, suhu politik, dan etika kebudayaan di kampungku tak membuatku lebih tenang dari alam rahim ibuku. Aku harus pergi! "Pagi-pagi buta seperti ini kau akan pergi?", tanya Er yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Er masih pakai telekung. Ia sepertinya baru saja pulang dari surau. Er adalah salah satu perempuanku dari golongan ningrat yang gagal kunikahi lantaran dulu aku tak mampu membeli kain songket dan membayar maskawin. "Lebih cepat lebih baik. Sebab, sebentar lagi, orang kampung akan segera berhambur keluar. Dan aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan mereka. Kujelaskan sedetil apapun, mereka juga tidak akan tahu kenapa aku harus pergi ke hutan". Er masih terpaku. "Tetaplah hidup dengan suamimu di sini. Tak ada gunanya kau melarangku pergi". "Lalu, bagaimana dengan aku?", sebuah suara muncul dari arah belakang. Tiba-tiba Tri menyela pembicaraan aku dan Er. Tri adalah perempuan keduaku yang belum sempat kunikahi lantaran sampai tahun ini orangtuanya masih bersikeras untuk menyuap seseorang agar Tri menjadi PNS. Makanya, aku tetap bertahan untuk menolak desakan menikah sebelum Tri mengharamkan suap. "Kau tidak sendirian di sini, Tri. Banyak orang yang akan melindungimu. Masih ada Mang Arman, Mang Bidin, dan Wak Ujang. Semua akan menjagamu". "Apa keputusanmu sudah bulat, Nak?", ibuku tak mau ketingalan melepas kepergianku. Ibuku adalah perempuan yang kuagungkan di alam raya ini. Sebab, tanpa darah, keringat dan air mata ibu, aku takkan lahir. "Ini sudah menjadi tekadku, Bu," jawabku meyakinkan ketiga perempuan itu. "Tapi, hutan bukan duniamu?!" "Tidak, Tri! Semua milik Tuhan. Dan kita berhak hidup di mana kita suka. Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur". "Kalau hanya itu alasanmu, kenapa kau mesti ke hutan? Apa ini bukanlah sikap kerdilmu untuk menghindar dari kekalahan?" "Cukup, Tri! Biarkan aku pergi. Jangan seperti orang kampung ini yang tak mau lagi peduli bagaimana menempuh perjalanan panjang untuk satu perubahan." Ketiga perempuan itu hanya terpaku. "Bu, dan kepada kalian berdua, Tri dan Er, aku pergi. Fajar akan segera tiba. Dan katakan pada ayah, aku akan kembali". Tepat jam lima pagi, aku sudah keluar dari dusun. Aku tidak akan lagi pusing dengan sapaan basa-basi dari orang-orang dusun. Kalau aku terus berjalan, berarti pada sore nanti, aku sudah sampai di hutan, tempat aku akan bercengkerama dengan alam. Matahari mulai memancar dari ujung timur. Embun yang menempel di dedaunan perlahan mengering. Berapa butir peluh sudah membasahi tubuhku. Entah berapa kali, aku harus menyeka keringat yang mengalir dari pinggir kening. Sesaat, aku harus berhenti untuk turun minum. Pada sebuah lereng aku berhenti. Beberapa potong singkong sudah masuk dalam perut. Beberapa teguk air sudah berhasil mengusir rasa haus yang beberapa jam tertahan. Aku terus melangkah. Tak sesiapa yang kutemui. Sesekali hanya ocehan burung yang terdengar samar. Seekor elang terlihat sedang mengejar induk pipit. Wush! elang berhasil menyambar burung induk pipit. Tak ada perlawanan, karena pipit hanya sendirian. Dan elang pun melenggang puas. Sementara, beberapa ekor pipit di sarangnya pasti masih menunggu induknya pulang dengan membawa makanan. Sayang, anak-anak pipit harus kehilangan induknya hanya lantaran seekor elang yang sewenang-wenang memangsa mahluk yang lemah. Ada keprihatinan yang tiba-tiba melintas. Serangan elang terhadap induk burung pipit, tak ubahnya seperti kenyataan hidup di kampungku. Kemarin, Mang Likin, seorang abang becak di kampungku, harus menginap di rumah sakit akibat dikeroyok lima oknum polisi karena becaknya tidak memiliki SIM--sesuai dengan Perda Nomor 39 Tahun 2002. Belum sempat sembuh total dari sakitnya, surat tagihan rumah sakit dan denda lima juta rupiah harus ditanggung Mang Likin. Karena tak mampu, terpaksa Mang Likin menebusnya dengan penjara 3 bulan. Istri dan kedua anaknya kini harus mencari hidup sendiri sambil menunggu pembebasan Mang Likin. Aku kembali melangkah. Matahari sudah ada di atas kepala. Berarti, setengah hari lagi, aku akan segera sampai. Aku akan temukan ketenangan di sana. Crus! crus! beberapa kali aku harus memangkas ranting-ranting pohon. Aku mempercepat langkah, saat di lembah lereng, mataku menatap aliran sungai. Paling tidak, aku bisa segera membasahi badan dan sesaat kemudian aku akan menemukan kesegaran. Belum lagi aku sempat mencelupkan tangan ke dalam sungai, seekor buaya melintas. Aku melompat. Aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara buaya. Lama aku menunggu buaya itu pergi. Tapi, hampir tiga puluh menit, buaya itu tetap saja ada di situ. Sementara, hari mulai senja. Aku masih bertanya, apa gerangan yang hendak dilakukannya. Menjelang Magrib, sekelompok rusa muncul dari semak-semak. Mereka bergerombol. Sepertinya mereka hendak minum ke sungai. Aku masih menatap ke arah buaya. Sepertinya, buaya hendak mencari mangsa. Sementara ratusan rusa tak begitu peduli terhadap bahaya yang mengancam. Byur! pyak! pyak! slep! gerakan cepat buaya tak diduga rusa. Seekor rusa harus menjadi korban keganasannya. Ratusan rusa lain terpaku. Tak ada perlawanan. Lagi, sebuah kesewenang-wenangan penguasa air telah memunculkan ketakutan di setiap rusa. Aku juga terpaku. Aku masih berpikir, apakah aku harus berenang menyeberangi sungai atau tetap di lereng ini. Malam mulai menjelang. Suara binatang terdengar bersahut-sahutan. Sementara, mataku sudah berat. Setelah seharian berjalan, aku belum sedetik pun memejamklan mata. Rasa kantuk tak tertahan. Aku terlelap. Sebuah auman singa membangunkanku dari tidur. Aku cepat-cepat beringkas. Jangan-jangan, singa sudah mengintaiku. Aku masuk dalam semak-semak. Aku masih mengintip dari mana singa itu keluar. Auww! gludug! gludug! auwww! tiba-tiba seekor singa berguling-guling. Kedua kakinya seperti mengorek-ngorek telinganya. Beberapa kali, ia terguling-guling. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ditahan dalam telinganya. Hampir dua jam lebih, singa itu terguling-guling tak jauh dari tempatku bersembunyi. Lambat laun, singa melemah. Ia terguling tanpa daya. Sesaat kemudian, ia tak bergerak lagi. Sementara, burung-burung pemangsa bangkai sudah mengitarinya. Aku coba mendekat. Sebuah luka menganga di lehernya. Sementara, dari dalam telinganya, jutaan semut merah sedang berpesta pora seakan mereka sedang dalam kemenangan. Semut dan burung pemakan bangkai saling berbagi. Si raja hutan itu kini menjadi santapan burung pemakan bangkai, setelah sebelumnya dikeroyok oleh jutaan semut merah. Kenyataan ini jauh berbeda dengan nasib burung pipit, rusa dan Mang Likin yang menyerah begitu saja. Koloni semut kemudian membawaku satu kesimpulan, tak kata kalah jika orang-orang di kampungku bersatu melawan para penguasa desa sebagaimana semut membunuh raja hutan. Hari itu juga aku pulang. Tak ada kata lain, aku harus pulang. Akan kukabarkan kepada orang kampung bahwa semut telah mengajariku untuk melawan. Jangankan elang dan buaya, seekor singa pun mampu mereka kalahkan. Malam pertemuanku dengan tiga perempuanku menjadi bagian kebahagiaan tersendiri setelah dua hari berpisah. Dan, malam itu kukatakan pada para perempuanku. "Ibu, Tri dan kau, Er, sampaikan kepada semua perempuan di desa ini, jangan pernah berhenti untuk sebuah perubahan. Sebab, kekalahan hari ini, bukan akhir dari perjuangan yang akan lebih panjang lagi". "Siapa yang bakal membantu kita?" "Ini," kataku menunjuk pada perut Er yang sebentar lagi melahirkan seorang bayi. Ibu, Tri dan Er terpaku. Ada kata tanya di matanya. "Dari janin-janin yang bersih inilah, bangsa ini akan berubah. Dan, kepada kalian perempuanku, sampaikan pesan ini kepada perempuan lain, janin inilah yang akan tumbuh dewasa, untuk melibas kesewenang-wenangan sebuah otoritas negara". Sepertiga malam terakhir aku terbangun. Kutemui ibuku dan kedua perempuanku masih berzikir. Tak ada suara lain yang kudengar, kecuali keinginan ibu agar aku segera menikah. Mungkin ibu berharap agar isteriku segera melahirkan jabang bayi. Tunggu saja ibu, aku masih berjuang. ** Demang Lebar Daun-Palembang, 26 Mei 2003